KOLOT, kata Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Prof. Dr. J.S. Badudu dan Prof. Sutan Mohammad Zain (1994), berarti tua atau kuno. Lawannya adalah modern. Demikian halnya menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia. Eko Endarmoko dalam Tesaurus Bahasa Indonesia (2006) memadankan kata kolot dengan konservatif, konvensional, ortodoks, reaksioner, tradisional, lapuk, tua, dan usang. Pendeknya, konotasinya negatif. Sifat kolot jelas harus diberantas karena dinilai menghambat kemajuan.
Dalam kolot bahasa Indonesia, usia berkelindan dengan sifat. Semakin tua semakin kukuh keukeuh.
Dalam bahasa Sunda, kolot berarti orang tua, baik orang tua kita sendiri maupun orang tua orang lain. Kokolot adalah orang yang dituakan atau sesepuh. Kokolot tidak selalu pemimpin. Karenanya dia tidak perlu tua dalam usia (sepuh) dan tidak perlu kepala di desa. Agus Suhendra, umpamanya, disebut kokolot Lembur Gede di Kesatuan Adat Banten Kidul, Kaolotan Cisungsang, Kec. Cibeber, Kab. Lebak, Banten. Usianya kini 34 tahun dan dia sudah menjadi kokolot sejak beberapa tahun lalu.
Kokolot belum tentu juga ulama atau pemimpin formal. Syarat penting kokolot bukanlah usia atau kedudukan, melainkan harus masagi. Orang yang masagi bukan cuma sehat secara fisik, sehat secara psikis, dan sehat secara sosial. Masagi diperoleh dari hasil pengembaraan emosi (EQ), intelektual (IQ), dan spiritual (SQ).
Kokolot biasanya dijadikan tempat bertanya dan menengahi persoalan yang timbul di masyarakatnya, meski dia belum lagi insan kamil dalam kategori agama. Akan tetapi, tidak semua kolot dipikolot, disegani dan dijadikan tempat bertanya. Ada istilah kolot kawongeun. Kata budayawan Sunda Abdullah Mustappa, dari kolot jenis ini kita tak beroleh apapun. Baik ucapan maupun tindakannya tak ada yang bisa kita teladani atau ambil hikmahnya. Kolot jenis ini hanya bertambah umur, menambah sesak isi dunia, dan menghabiskan cadangan pangan saja.
Seiring bertambahnya usia, orang seharusnya bertambah bijak. Dalam bahasa Sunda, orang yang pertambahan usianya berkelindan positif dengan sifat dan pengalamannya disebut kolot kalapa. Kepada orang tua jenis inilah kita bisa belajar hikmah kata dan meneladani laku hidupnya. Sayang sekali, istilah kolot kalapa ini sekarang seperti mengalami penyempitan makna. Istilah ini sekarang banyak dialamatkan kepada perempuan STW (setengah tua) yang penampilan dan sex appeal-nya semakin oke saja. Ada konotasi pornonya.
Dengan pemahaman semacam itu, saya menerka-nerka mereka-mereka yang berkumpul di Gedung Perpustakaan Nasional di Salemba, Jakarta, 1 November lalu. Dalam pertemuan Komite Bangkit Indonesia ini hadir banyak orang tua, kolot. Ada Rizal Ramli, mantan Menko Ekonomi dalam Kabinet Gus Dur, Try Sutrisno, Wiranto, Amien Rais, Akbar Tandjung, Taufik Kiemas, Pramono Anung, Syafi’i Ma’arif, Sri-Edi Swasono, Ikhlasul Amal, Kwik Kian Gie, H.S. Dillon, Soegeng Sarjadi, Moerdiono, dan Syarwan Hamid. Ada juga anak muda yang beranjak tua.
Saya tak tahu mereka yang tua-tua itu masuk kolot kalapa atau kolot kawongeun. Saya juga tak tahu mereka yang muda-muda itu sudah masuk kategori dipikolot atau masagi atau kokolot begog (begog adalah monyet yang sudah tua). Rasa-rasanya, tak terlihat yang kokoloteun. Kokoloteun berarti penyakit kulit pada wajah karena sering kepanasan atau akibat memakai bedak murahan. Wajah yang kokoloteun tampak dibercaki bintik-bintik hitam.
Mudah-mudahan juga tak ada yang tiklot (masih kecil tapi wajahnya terlihat seperti orang yang sudah tua).
Dicandak ti: bandungan.multiply.com
gambar ti: artprintimages.com
Tutumbu Carita diluhur:
1 pesen:
Ass.wr.wb.
Neng geulis LieZMaya, sadaya anu dikintunkeun ka email abdi katampi pisan, mung hapunten nembe ayeuna tiasa ngawaleran. opat ulah bendu nya...di antos salajengna, hatur nuhun sateuacanna.
Wssalam
Posting Komentar