Hari itu minggu, tanggal 24 Januari 2010 Appa (nama panggilan kakekku) menghela nafasnya yang terakhir, banyak air mata yang mengalir untuk mengiringi kepergiannya dari tetangga, sanak saudara, teman – teman, bahkan orang yang baru kenal.
Pukul 13:15 tepatnya beliau di jemput ajalnya oleh sang Illahi, dan adik sepupuku menelpon dari Bandung untuk mengabarkan berita duka itu pada kami cucu – cucunya yang ada di Bekasi. Innalillahi wa inna illahiraji’un, sontak kalimat tersebut berhamburan dari mulut kami. Dengan perasaan sedih terkenang memori dengan beliau kami pun langsung mengepak pakaian dan keperluan lainnya, segera berangkat menunju ke Bandung untuk melayat beliau.
Pukul 15:00 kami pun langsung mengunci pintu rumah dan pagar, tak lupa menitipkannya dan sekaligus berpamitan kepada tetangga terdekat yang sudah kami anggap seperti saudara sendiri, hujan gerimis pun ikut serta mngiringi keberangkatan kami ke Bandung waktu itu. Di jalan kami menerima telepon kembali dari saudara, bahwasannya mereka meminta ijin dari kami untuk segera menguburkan Appa yang akan dilaksanakan pada pukul 16:00, dikarenakan cuaca yang mengkhawatirkan di Bandung akan turunnya hujan dikarenakan sang awan pun sudah terlihat menghitam kelabu di langit kampung kelahiranku tersebut yakni Cimuncang – Jelekong. Dengan sangat berat hati kami pun memberikan ijin dengan keikhlasan untuk para kerabat disana mengantarkan Appa ke liang lahat meskipun kami tidak dapat menyolatinya dan mengucapkan salam perpisanan yang terakhir dengan beliau.
Sampailah kami di Bandung pukul 18:00 pas disambut hujan lebat yang mengguyur langit Cimuncang. Aku pun langsung bergegas ke rumah Appa, disana terlihat orang – orang yang berbaju hitam hampir memenuhi ruang di rumah tua itu, terlihat ada sanak saudara, mulai dari uwak, paman – paman, saudara sepupu/ cucu – cucu, sampai ke cicit – cicit apa terlihat disana. Aku pun melangkah bersalaman dengan mereka satu persatu yang melingkar di ruang tengah rumah, terlihat mata mereka yang merah karena tangisan tentunya, ooh memang Appa sudah tidak ada lagi, beliau sudah dikebumikan tadi.
Ahhh tak apalah pikirku, aku hanya dapat mendo’akan dari sini saja, semoga iman islamnya diterima disisi Alloh SWT, dan segala amalan kesolehannya membuatnya mencapai surga dengan ketanangn di alam kubur sana. Aku pun langsung memeluk émak (Nenekku tercinta) yang sudah tak kalah tuanya dengan Appa. Beliau terlihat sangat murung namun tetap berusaha untuk terlihat tabah oleh orang lain, pikirku mungkin émak sedang melamunkan memori – memori yang telah mereka lalui dahulu, atau beliau sedang memikirkan kehidupannya ke depan, atau mungkin yang lainnya. Aah entahlah, aku tak berani bertanya pada saat itu, aku hanya berusaha menghibur beliau saja, untuk mau meneguk beberapa tetes air minum dan memasukan makanan kedalam perutnya. Kata mamahku, beliau tidak mau makan dan minum sejak beberapa hari sebelumnya...”tak lapar” lirihnya.
Waktu itu masih banyak sekali orang yang berdatangan lalu lalang untuk mengucapkan belasungkawa kepada nenek dan kami keluarga yang ditinggalkan oleh Appa. Terlihat sangat jelas sekali, kesedihan mereka mendengan kabar kepergian apa, sosok lelaki yang sangat berwibawa dari muda hingga tua hingga banyak mendapat hormat dan menganggap apa sebagai tetua di kampung. Lelaki tua yang kurus kering itu beberapa bulan yang lalu sudah sakit – sakitan sebenarnya, beliau sudah beberapa kali keluar masuk rumah sakit untuk menjalani pengobatan, namun tak ada hasilnya. Seiring dengan waktu penyakitnya pun semakin bertambah parah saja.
Dua minggu sebelum kepergiannya sebenarnya aku telah menemui beliau langsung ke Bandung, untuk bertatap muka dan menyampaikan permintaan maaf, terlebih lagi beliau yang meminta kepada pada sausara dan keturuanannya untuk menemui beliau waktu itu, karena ditakutkan ajalnya memang sudah hampir tiba, beliau takut tidak sempat membebaskan perkara saling maaf – memaafkan sebelum menghembuskan nafanya yang terakhir.
Sudah 7 bulan beliau merasakan sakit itu, 3 bulan yang paling parah mematikan tubuhnya yang tidak dapat lagi bergerak kesana kemari seperti biasanya selagi beliau masih sehat, bahkan untuk ke kemar mandi pun harus dibopong oleh orang lain, dan untuk shalat pun beliau tayamun dan berbaring saja di tempat tidur. Hhh sungguh memilukan. Penyakit kakengker paru – paru yang menderanya sungguh membuat beliau tersiksa teramat sangat, beliau sampai menangis mengeluarkan air mata bahkan dalam tidurnya karena kesakitan dan tidak ingin menginap di Rumah sakit. Itulah akibatnya yang ia petik dikarenakan tidak mau menuruti nasehat kami untuk berhenti merokok dari dulu, beliau adalah seorang pecandu rokok yangs angat akut dari masa mudahnya, sehari bisa menghabiskan berbatang – batang/ berlintingan – lintingan rokok dari tembakau “lebih baik tidak makan ketimbang harus berhenti merokok” jawabnya dengan santai, uuuh selalu saja!. Hingga paru – parunya di vonis kanker oleh dokter, sudah parah sekali katanya, bahkan ketika di rontgen pun hanya terlihat hitam saja di dalam paru – parunya tersebut.
Yah, mau apa dikata lagi, nasi sudah menjadi bubur, menyesal tidak akan datang di depan, menasehati atau memarahi beliau saat itu percuma saja, toh beliau sudah tidak berdaya, dan mungkin dalam hatinya pun sangat menyesal. Dahulu beliau adalah seorang laki – laki yang kuat, tak pernah merasa kecapaian untuk menghidupi keluarganya, mengelola tanah – tanah kebun, sawah sawah dan empang yang ia miliki. Di usinya yang lanjut pun beliau masih saja membuat kami khawatir dengan “kerjinannya” yang berlebihan tersebut, terutama nenek. Kami sangat mengkhawatirkan kesehatannya yang tak mau sadar diri akan usianya yang sudah lanjut, namun beliau sangat terlihat enjoy – enjoy saja menjalani semua itu “gak enak duduk – duduk termenung diam saja dirumah seperti seorang kakek tua yang tidak berguna” imbuhnya kepada kami.
Sekarang aku hanya mengkhawatirkan nenek yang sudah tua, tentunya akan sangat berat menjalani hari – hari tuanya sendiri tanpa Appa, aku belum tahu apakah nantinya beliau akan tinggal dengan anaknya yang mana, apakah itu dengan uwakku, pamanku, atau orang tuaku, yang jelas itu pilihan beliau sendiri, namun belum tentu juga sepertinya beliau mau mengambil tawaran tersebut untuk tinggal dengan anak – anaknya, karena sifat Appa dan émak dari dulu sangat tidak ingin bergantung dan menyusahkan hidupnya kepada orang lain. Aku harap Tuhan meluluhkan hatinya saja dan memberikan beliau ketenangan jiwa melepas kepergian Appa dialam baka sana dan tentunya beliau diberikan kesehatan dan umur yang berkah di ridhoi oleh Alloh SWT. AMIN.
Lilis Mayasari, salah satu cucu dari Appa Udin Bin Matnasik. Bekasi, Rabu – 27 Januari 2010 dalam duka.
hapunteun postingan ieu teu diserat dina versi Basa sundana.
Tutumbu Carita diluhur:
- Walimatul Ursy/ Laki rabi N. Lilis Mayasari & Rohmat Musobir
- Naha bet peunteun lima Lis?
- Egoisna kuring…
- Korejat
- Bangbung Hideung
- Carpon: Misbahudin
- Serat keur sobat hate baheula
- Wilujéng warég Lis!
- Munjungan
- Poto “Narsis” Oncom Bandung
- 17 Agustusan di Lembur Rancakole (2009)
- Safari Garden/ Kebon Raya Safari
- Puncak Lembur Gentong
- Kacang Bulu
- Pacici - cici Putri, Kaulinan Barudak Sunda
- Piknik ka Cibolang - Pangalengan
- Wilujeng Boboran syawal 1430 H
- 21 Taun
- Kapaksa Golput...
- Tanjakan Tonjong
- Kodok bangkong
- Kokoro No Moto
- Buku Ipis warna beureum
- PR 16
4 pesen:
Izin tulisan ini akan diterbitkan di http;//agupenajateng.net
Boleh tidak?
Boleh2, silahkan monggo.
Assalamu'alaikum,
Innalillahi wa inna illahiroji'un, Mudah-mudahan Apa aki sing di tarima iman islamna sareng amal ibadahna dihapura tina sagala dosana, sing di caang keun dina pakuburanana amin.
Atuh anu di kantunkeun kulawargina sing di pasihan ka kiatan/katabahan, sing mulus rahayu berkah salamet, sing di perekeun rejekina di tebihkeun tina balaina sareng mugia sing selalu aya din lindungan Alloh, amin.
Wassalam. bdg_217@yahho.co.id ( anu satia ngiringan Tepas Pangacaprukan )
Innalillahi wa innailaihi roji'un...
karaos...tinggal do'a terbaik kanggo anjeunna....
Posting Komentar